- Masa Awal (Abad 1 - Abad 7)
- Bukti pertama hubungan antara Nusantara dan Tiongkok ditemukan dalam catatan sejarah Tiongkok dari Dinasti Han (206 SM – 220 M). Orang Tionghoa telah melakukan perjalanan dan berdagang dengan pelaut dari Nusantara.
- Catatan dari Dinasti Liang (502–557 M) dan Dinasti Tang (618–907 M) menyebutkan perdagangan rempah-rempah, emas, kayu cendana, dan hasil bumi lain antara Nusantara dan Tiongkok.
- Pada abad ke-7, kerajaan Sriwijaya memiliki hubungan erat dengan Tiongkok. Kerajaan maritim ini menjadi pusat perdagangan internasional yang menarik para pedagang Tionghoa.
- Masa Kerajaan Majapahit (Abad 13 - 15)
- Pada masa Kerajaan Majapahit, banyak pedagang Tionghoa datang ke Nusantara untuk berdagang. Salah satu kelompok terbesar adalah pedagang dari wilayah Quanzhou di Fujian, Tiongkok.
- Laksamana Cheng Ho (Zheng He), seorang pelaut Muslim keturunan Tionghoa, memimpin ekspedisi besar ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, antara tahun 1405-1433, membawa serta banyak warga Tionghoa yang menetap di sini. Ekspedisinya membuka jalur perdagangan baru dan mempererat hubungan Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
- Masa Kedatangan VOC (Abad 17)
- Pada abad ke-17, di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), banyak imigran Tionghoa mulai menetap di Batavia (sekarang Jakarta). Mereka diundang oleh VOC untuk membantu mengembangkan perekonomian dan perdagangan, terutama di bidang pertanian, industri gula, dan bisnis lainnya.
- Namun, pada tahun 1740, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia yang dikenal sebagai Tragedi Angke, di mana ribuan orang Tionghoa tewas akibat ketegangan sosial dan politik dengan pihak Belanda.
- Masa Kolonial Belanda (Abad 18 - 19)
- Selama masa penjajahan Belanda, banyak warga Tionghoa yang datang sebagai buruh kontrak untuk bekerja di perkebunan, tambang, dan proyek pembangunan infrastruktur. Imigrasi ini menjadi signifikan terutama di wilayah Sumatra dan Kalimantan.
- Pada masa ini, komunitas Tionghoa berkembang pesat, dan mereka memainkan peran penting dalam ekonomi perkotaan sebagai pedagang, perantara, dan pengusaha. Peran mereka begitu signifikan sehingga mereka dikenal sebagai "Cina Totok" dan "Peranakan". Kelompok Peranakan adalah hasil asimilasi antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal.
- Periode Reformasi dan Era Modern
- Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi sistematis, terutama dengan diberlakukannya larangan penggunaan bahasa dan simbol Tionghoa secara terbuka.
- Pasca reformasi 1998, terjadi perubahan kebijakan yang lebih terbuka terhadap etnis Tionghoa. Perayaan Imlek diakui sebagai hari libur nasional, dan budaya Tionghoa kembali mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kebangkitan etnis Tionghoa ini menunjukkan integrasi yang lebih baik dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi Indonesia.
- Peran dan Pengaruh Etnis Tionghoa di Indonesia
- Etnis Tionghoa memainkan peran penting dalam sejarah ekonomi dan budaya Indonesia, terutama di bidang perdagangan dan industri. Mereka dikenal sebagai pengusaha yang sukses di berbagai sektor, dari perdagangan tekstil hingga sektor perbankan
- Selain ekonomi, mereka juga berkontribusi dalam bidang pendidikan, kesehatan, seni, dan budaya di Indonesia. Banyak tokoh penting Tionghoa yang memberikan sumbangsih signifikan, seperti Tan Kah Kee dan Oei Tiong Ham.
- Blussé, Leonard. Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women, and the Dutch in VOC Batavia. Dordrecht: Foris Publications, 1986.
- Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis. Yale University Press, 1995.
- Suryadinata, Leo. The Chinese Minority in Indonesia: Seven Papers. Singapore University Press, 1976.
- Liem, H. F. Orang Indonesia Tionghoa: Masalah Identitas dan Integrasi Sosial. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
- Heidhues, Mary Somers. The Chinese in Southeast Asia: Colonial Subjects to Global Citizens. University of Hawai’i Press, 2001.
- Trocki, Carl A. Chinese Merchants and Society in Southeast Asia: Politics of Resettlement in China, Indonesia, and the Philippines. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1992.
Referensi lengkap :